Bulan
Agustus adalah hari kemerdekaan negeri ini. Untuk pertama kalinya setelah pandemi,
akhirnya saya dapat mengikuti upacara bendera secara luring di kantor. Dan
alhamdulillah saya berkesempatan berdiri di baris kedua. Posisi tersebut membuat
saya lebih hikmat mengikuti jalannya upacara. Rasa haru, bahagia, dan bersyukur
turut menyelimuti diri ini. Ketika bendera merah putih dikibarkan, tak terasa
air mata saya menetes cukup deras. Melihat bendera merah putih yang perlahan
dikibarkan, yang saya pikirkan adalah kehebatan para pejuang bangsa yang telah berhasil
merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Mereka mengerahkan seluruh jiwa dan
raganya serta bersatu padu supaya negeri ini merdeka. Tidak sedikit dari mereka
yang kehilangkan orang tua atau sanak keluarga. Kemerdekaan Indonesia telah
direbut dengan pertumpahan darah. Adilkah jika perjuangan merebut kemerdekaan
saya anggap hanya sejarah belaka? Pantaskah jika kemerdekaan yang sekarang
dinikmati hanya dianggap sebagai hadiah dari para pejuang? Apa yang bisa saya
lakukan untuk tetap mempertahankan kemerdekaan negeri ini?. Itulah beberapa pertanyaan
yang muncul untuk menjadi perenungan diri supaya saya tidak berhenti bergerak.
Pada
saat penyampaian amanat inspektur upacara, Bapak Gubernur menyampaikan bahwa
sebaik-baik hadiah proklamasi adalah bersyukur. Bersyukur berarti kita bekerja dengan
sungguh-sungguh untuk melaksanakan tugas dan peran Bank Indonesia sehingga
dapat bermanfaat untuk masyarakat, bangsa, dan negara.
Amanat
Bapak Gubernur tersebut sekaligus mengingatkan saya untuk menjadi seorang pegawai
yang amanah dan bersungguh sungguh dalam mengerjakan pekerjaan yang ditugaskan.
Di Bank Indonesia, saya diberi tugas untuk menyusun peraturan. Dengan demikian,
saya harus selalu meningkatkan kemampuan dan pengetahuan supaya peraturan yang saya
susun berdaya guna dan berhasil guna, baik untuk internal Bank Indonesia maupun
pelaku industri yang berkaitan langsung dengan Bank Indonesia.
Sehari
sebelum pelaksanaan upacara bendera, di siang hari waktu istirahat, saya
mengikuti kajian muslimah bertemakan “Jiwa yang Merdeka”. Kajian tersebut disampaikan
oleh Ustadzah Fathiyah Khotib. Beliau menyampaikan bahwa jiwa yang merdeka terbagi
dalam 3 aspek, yaitu merdeka dalam hal aqidah, merdeka dalam hal syariat, dan merdeka
dalam hal akhlak. Merdeka dalam hal aqidah berarti kita mengimani dengan
sepenuh hati bahwa Allah adalah Tuhan seluruh alam. Kita senantiasa untuk terus
meningkatkan keimanan dan menjaga kualitas iman kita kepada-Nya. Merdeka dalam hal
syariat berarti kita melaksanakan rukun islam dengan penuh kesadaran dan melaksanakannya
hanya karena Allah. Merdeka dalam hal akhlak berarti kita melakukan kebaikan
baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi serta tidak diperbolehkan
untuk menghakimi seseorang yang melakukan perbuatan buruk.
Sore hari
setelah paginya upacara bendera, saya mengikuti kegiatan sholawat dan istighosah
di masjid istiqlal Jakarta. Sebuah kegiatan hari Kamis malam Jumat yang rutin
saya ikuti. Selain istighosah dan sholawat, acara tersebut juga dilengkapi
dengan tausiyah oleh Bapak Prof. Nasarudin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal.
Dalam tausiyahnya, Bapak Prof. juga mengingatkan kita tentang kemerdekaan
negeri ini dan bersyukur atas kemerdekaan yang saat ini kita rasakan. Beliau menyampaikan
bahwa beliau sangat bersyukur menjadi muslim dan juga bersyukur menjadi warga
negara Indonesia. Di saat kondisi ekonomi global sedang tidak baik-baik saja, Indonesia
justru menjadi negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup baik. Beliau
juga berpesan untuk tidak mudah tersulut jika ada oknum yang membakar kitab
suci Al-Quran. Karena sejarah membuktikan bahwa siapapun yang mencoba memerangi
islam maka islam akan menjadi semakin kuat.
Peringatan
78 kemerdekaan RI tahun ini menjadi spesial dengan rangkaian mulai dari kajian muslimah-upacara
bendera-sholawat dan istighosah. Kegiatan-kegiatan tersebut semakin menguatkan eksistensi
saya sebagai warga negara, muslimah, dan pegawai. Sebagaimana yang pernah saya
dengar dari Habib Husein bin Ja’far bahwa setiap kita layaknya tetesan dalam samudera.
Setiap kita memiliki peran penting dalam suatu peradaban. Maka tugas kita adalah
menjadi versi terbaik di setiap peran kita.
0 komentar:
Posting Komentar