Tulisan ini pernah saya tulis dalam status Whatsapp saat sedang di kereta menuju ke Jakarta. Saat itu saya menyengaja pulang pada awal Ramadhan untuk sowan ke makam Bapak, Eyang Putri, dan Eyang Kakung, sebuah ritual sebelum Ramadhan yang sudah lama saya tinggalkan sejak merantau ke Jakarta. Alhamdulillah akhirnya saya bisa kembali menjalankan ritual tersebut.
Seperti biasa, dalam kesendirian saya seringkali merenung tentang banyak hal yang terjadi dalam hidup saya. Saya mencoba mencari kepingan hikmah di setiap episode kehidupan. Mulai dari hal yang simple sampai dengan hal yang sampai sekarang masih menjadi rumit di pikiran saya. Dalam sebuah perjalanan menuju tanah rantau yang tujuannya adalah bekerja, tak heran jika selama perjalanan saya lebih banyak berpikir tentang pekerjaan. Mulai dari niat, upaya saya mendapatkan pekerjaan, jalan takdir yang akhirnya mengantar saya pada sebuah tempat, dan masih banyak hal lainnya yang tidak dapat saya sebutkan secara rinci.
Pertama dan utama, saya ga nyangka bisa bekerja. Dulu, setelah lulus kuliah, saya merasa minder banget sama kemampuan diri. Saya merasa kalau ilmu yang saya miliki kurang mumpuni untuk bisa diterima kerja. Kalau diterima kerja, ya saya bersyukur. Dan saya menganggap hal itu berkat welas asih dari Gusti Allah, bukan karena saya alumni kampus ternama atau mendapatkan IPK cumlaude. Segalanya terasa percuma jika saya ga bisa mempertanggungjawabkan ilmu yang telah saya dapat. Toh untuk memperoleh IPK cumlaude di zaman sekarang ga susah kok. Eits, kecuali jurusan kuliah tertentu yang mungkin masih susah. Meskipun IPK bukan faktor penentu kesuksesan seseorang, saya masih berpandangan bahwa IPK merupakan pintu gerbang seseorang meraih impian selanjutnya pasca lulus dari kampus. Misalnya dalam hal pekerjaan atau lanjut kuliah, pasti ada syarat IPK minimum dong. Kecuali kalau abis lulus kuliah mau berwirausaha, nah itu baru ga terikat dengan syarat IPK.
Setelah lulus, sebelum kerja, saya sempat mengabdi di salah satu pesantren di
Jogja, membantu Ibu Nyai menyiapkan para tamu Allah yang hendak sowan ke Makkah
dan Madinah. Pagi hari, setelah ngaji, saya berjaga di kantornya Ibu sampai
sore. Setelah itu saya menuju TPA untuk mengajar ngaji, dan kadang malamnya
masih ada jadwal ngelesin. Meski kegiatan padat dari pagi sampe malam, saya jarang
sekali berpikir soal materi. Saya lebih fokus pada apa yang bisa saya berikan. Melihat
anak-anak TPA ikut lomba dan berhasil, rasa bahagianya sampe ga bisa
diungkapin. Karena saya yakin bahwa segalanya ada milik Allah maka tiada jalan
lain kecuali selalu minta pada-Nya.
Di luar dari aktivitas tersebut, saya juga sibuk mencari pekerjaan. Mengirim berkas lamaran kesana sini dan menghadiri beberapa job interview. Saya pun mempunyai target tahun itu saya harus sudah mendapat pekerjaan.
Hamdalah harapan saya akhirnya terkabul. Tepat pada akhir tahun saya diterima
kerja. Dan bersyukur lagi karena saya bekerja sesuai bidang saya. Namun, saya
menyadari betul bahwa saya tidak boleh berpuas diri dengan pencapaian saat itu.
Saya musti terus mengembangkan kemampuan, baik dari sisi keilmuan maupun softskill. Ilmu yang saya dapatkan di
bangku kuliah ternyata hanya secuil yang terpakai saat bekerja. Selebihnya saya
musti belajar banyak hal dengan ekstra, seperti belajar bekerja dalam tim serta
belajar berkomunikasi dan bersosialiasi.
Bekerja itu ga hanya soal ngamalin ilmu, tapi juga bagaimana kita mampu untuk mengasah kecerdasan emosional. But, saya bersyukur dari sejak awal bekerja sampe sekarang didekatkan dengan orang-orang yang ga pelit ilmu dan gemar berbagi, serta kerapkali diberi kepercayaan dalam hal amanah tertentu.
Dalam perkembangannya, ada impian lagi yang lahir setelah saya beberapa tahun bekerja. Disini saya benar-benar sadar kalau manusia itu emang banyak maunya. Karena merasa belum puas dengan pencapaian saat itu, saya pun kembali meminta kepada Allah untuk bekerja di tempat yang organisasinya lebih besar, di lingkungan tempat orang-orang yang berilmu dan beriman, di tempat orang yang tidak hanya mengandalkan cuan tapi juga bisa mencetak karya, di tempat yang sholatnya dan ngajinya tidak hanya mejadi simbol tetapi juga terimplementasi melalui pemikiran yang cemerlang. Saat itu, saya ga spesifik minta kerja dimana dan sebagai apa. Karena rasa-rasanya saya juga ga terlalu concern dengan jabatan.
Berkat welas asihnya gusti Allah, harapan tersebut akhirnya terwujud. Dan seperti
yang saya katakan di awal, ketika selesai dari 1 urusan, kita ga boleh berpuas
diri. Musti terus melahirkan impian-impian selanjutnya. Hhmm... kalau ditanya,
masih punya impian (terkait pekerjaan) selanjutnya? Tentu!. Yang jelas pengen
bisa lebih bermanfaat dengan ilmu-ilmu yang sudah diperoleh. Seperti: bisa
punya kantor sendiri.
Sebagai penutup, saya cuman pengen bilang bahwa hidup itu ga terasa hidup kalau
kita ga punya impian. Jika 1 impian terlampaui, jangan berpuas diri, terus
lahirkan impian selanjutnya. Mengutip istilah jawa bahwa “urip iku urup”. Hidup
itu harus menyala, memberikan kemanfaatan untuk sekitarnya. Bagaimana supaya
bermanfaat? Lakukan apa yang bisa qta lakukan. Kasih apa yang bisa kita kasih.
Kontribusikan apa yang bisa kita kontribusikan. Modal dari Allah ga kurang kok,
bahkan berlebih. Seperti tubuh fisik yang lengkap, tak kurang 1 hal apapun. Sambil
terus berniat bahwa hidup itu untuk mengabdi. Kepada siapa kita mengabdi? Ya tentunya
pada Allah. Kasih sebanyak-banyak nya yang bisa kita kasih tanpa kita mengharap
pengembalian apa yang telah kita kasih. Semoga hal tersebut mendatangkan
keridhoan Allah SWT. Aamiin.
0 komentar:
Posting Komentar