Minggu, 08 November 2020

Pesan Bapak “Nduk, silaturahimnya dijaga”

 Silaturahim, penyambung jiwa meski raga tak lagi ada

Bapak pernah berkata bahwa seorang anak merupakan perantara hubungan antara orang tua dengan saudara saudaranya. Ketika seorang anak bersilaturahim kepada keluarga orang tuanya, sesungguhnya dia telah menjadi penghubung antara orang tua dengan saudaranya tersebut.

Apa yang Bapak sampaikan tersebut selalu terngiang ngiang dalam ingatan, pun ketika Bapak telah tiada.

Salah satu pelajaran hidup yang diajarkan oleh Bapak adalah menyambung silaturahim, terutama silaturahim kepada orang orang yang masih mempunyai hubungan keluarga, baik itu keluarga satu eyang, satu buyut, satu canggah, dan sampai ke atas seterusnya. Supaya kita tau dan mengenal asal muasal nasab kita. Selain itu, Bapak juga mengajarkan kepada kami untuk senantiasa mendoakan para leluhur keluarga, yang biasanya kami sebut dalam doa “wa ushulihim wa furu ‘ihim”.

Ketika merantau ke luar kota atau saat sedang berkunjung di suatu daerah, Bapak selalu mengingatkan keberadaan keluarga yang tinggal dimana sy berkunjung. Tidak peduli sebelumnya saya sudah pernah bertemu dan mengenal atau pun belum, Bapak selalu mendorong saya untuk tetap menemuinya dan memperkenalkan diri.

Silaturahim dengan saudara 1 eyang itu sudah sangat sering. Yang masih jarang adalah silaturahim kepada keluarga 1 buyut, 1 canggah, atau atasnya lagi. Pertama kali diminta silaturahim sendiri ke saudara 1 buyut adalah waktu sekolah di Kediri. Memang, dulu salah satu alasan memilih SMA di Kediri adalah karena Kediri merupakan tanah kelahiran nenek moyang. Tak disangka ternyata dimana mana ditemui masih saudara atau jika bukan saudara ya rekan Alm. Eyang, termasuk keluarga pesantren yang kutinggali.

Perjalanan Silaturahim

Silaturahim itu seru, terutama silaturahim kepada keluarga yang sama sekali belum pernah saya temui sebelumnya dan hanya bersapa via dunia maya. Hal tersebut terjadi saat saya silaturahim ke keluarga Cilacap untuk pertama kalinya (Keluarga Cilacap adalah keluarga dari kakak eyang uti). Seumur hidup, saya belum pernah notice wajah wajah keluarga Cilacap. Meskipun demikian, yang namanya keluarga ya tetap keluarga. Meski baru kali pertama bertemu tapi rasanya sudah sering ketemu dan saling mengenal. Waktu itu saya dan adik langsung diajak keliling jalan jalan Cilacap dan makan seafood sepuasnya di pinggir pantai. Haha. 

Silaturahim, menjaga silsilah

Bapak dulu pernah berpesan “Nduk, karena kamu lahir menjadi orang Jawa ya kamu harus menghormati budaya Jawa”. Bapak adalah salah seorang yang sangat menghormati budaya Jawa. Namun tidak berarti kejawen. Salah satu contohnya dalam berkomunikasi dengan orang yang lebih sepuh (tua), sejak kecil Bapak selalu mengajarkan kami anak anaknya untuk berbahasa kromo inggil. Bahkan Bapak pernah ga mau bicara kalau tidak dengan kromo inggil. Sopan santun kami kepada orang yang lebih tua terutama kepada Bapak dan Ibu serta saudaranya sangat diperhatikan dengan ketat. Sedikit saja salah memilih kata, langsung ditegur dan dibenarkan. Termasuk dalam cara memanggil saudara. Kalau saudara 1 eyang ya sudah sangat tau dan paham mana yang harus dipanggil budhe, bulik, paklik, pakdhe, Mas, dan Mbak. Kalau ketemunya dengan saudara 1 eyang, terus manggilnya harus gimana? Padahal ketemunya jarang banget, palingan waktu reuni keluarga yang hanya 1 tahun sekali. Tahun lalu ketemu dan dikenalin, ketemu lagi di tahun ini sudah lupa cara manggilnya.

Dalam penamaan silsilah keluarga, budaya jawa sudah sangat rapi mengaturnya. Misalnya siapa saja yang harus dipanggil simbah, pakdhe, budhe, bulik, paklik, buyut, canggah, kang mas, mbak yu, adik, dan lainnya masih banyak lagi. Nah, panggilan panggilan tersebut berpengaruh juga pada panggilan anak keturunannya. Misalnya anaknya budhe atau pakdhe kita panggil dengan sebutan “Mas atau Mbak”, meski usianya jauh di bawah kita. Juga anaknya bulik atau paklik biasanya kita panggil “Dek”, meski usianya jauh di atas kita. Kalau dipraktikkan dengan benar maka kita akan lebih mengenal silsilah keluarga kita, mengenal orang orang terdahulu sebelum kita, yang darahnya juga mengalir dalam darah kita.

Saudaranya Bapak, juga orang tua kami

Bapak tidak pernah mengajarkan sedikit pun kebencian kepada anak anaknya. Jika harus membenci, Bapak akan fokus pada perilakunya. Bukan pada siapanya. Bapak selalu mengajarkan kepada kami untuk berkasih sayang dan saling menghormati kepada sesama saudara. Bagaimana pun kondisinya. Jika ada sikap buruk yang diterima Bapak, tak sekalipun Bapak berkomentar dan lantas berbicara macam macam di depan kami. Hubungannya dengan saudaranya itu adalah urusan Bapak. Namun bagi anak anaknya, mereka harus kudu wajib menghormati saudara saudaranya Bapak, layaknya menghormati Bapak. Sehingga ketika Bapak tiada sekalipun, bagi kami saudara saudaranya Bapak adalah orang tua kami juga.

 

0 komentar:

Posting Komentar