Rabu, 02 September 2020

Kampung Rawabogo

 

Tidak menyangka aku kembali didekatkan kembali dengan keluarga kampung rawabogo setelah aku diterima kuliah di Jogja 10 tahun silam.

Kampung ini telah menjadi saksi perjuanganku menaklukkan ujian masuk PTN. Awal awal tinggal di kampung ini niatnya adalah untuk kuliah di kampus swasta di Jakarta. Tapi dengan mempertimbngkan banyak hal, akhirnya keputusan menunda masuk kuliah menjadi keputusan yg dirasa tepat saat itu.

Terus waktu 1 tahun ngapain aja?

Bersyukurnya aku ketemu dengan program Ronin di NF HEK Kramat Jati. Bersama teman teman seperjuangan, kami berupaya untuk bisa tembus di salah satu PTN terbaik negeri ini yaitu Universitas Indonesia. Ndak kepikiran sama sekali bakal kuliah di selain kampus UI. Pokoknya UI UI dan UI #egoismemasamuda😅

Tiap seminggu 3 kali kami masuk kelas. Pembelajaran mulai jam 9an sampe jam 2 siang (kalau ga salah). Dari kampung rawabogo naik angkot KCA kemudian lanjut naik angkot KR. Turun pas depan NF HEK. Tidak jarang kami minta tambahan kelas kepada pengajar. Pengajar bisa ditemui dimana, kami pun rela nyusulin pengajar. Meski panas, hujan, hajar saja. Itu semua dilakukan demi kampus impian “UI”. Haha Untungnya kelas tambahan tidak dikenakan tarif tambahan. Hihi Ketika kelas libur dan tidak ada bimbingan tambahan, itulah waktunya untuk bersemedi di kamar menaklukkan kumpulan soal yg harus diselesaikan.

 

Keluarga Kumpul Guyup

Selain keluarga Nganjuk, Kediri, Blitar, dan Gresik, kampung rawabogo adalah salah satu bagian darinya. Disini tinggal seorang Pakdhe, Budhe, Bulek, Om, Uti, Akung yang total sekitar ada 5 kepala keluarga tinggal berdekatan.

Jadi bisa dibayangin kalau maen ke satu rumah pastinya keempat rumah lainnya juga disamperin (kadangkala). Ga jarang harus makan beberapa kali dari rumah ke rumah. Ke rumah satu udah makan kenyang, tiba2 diminta ke rumah lainnya juga disuruh makan. Pernah pula dalam waktu 5 jam makan sebanyak 3 porsi di 3 tempat😆.

 

Dipanggil “Marsa”

Nama “Marsa” berawal dari nama buatan semasa sekolah di MAN yang ditaro di kaos (kelas). Marsa adalah singkatan dari nama depan dan nama belakang “Maratul Salimah” yang selanjutnya nama ini menjadi nama akun FB pas awal awal punya FB yaitu Marsa Ima.

Nama Marsa adalah nama yang dipake karena ada salah satu bulek di kampung rawabogo yang juga dipanggil Ima “Bulek Ima”. Ditambah lagi dulu aku juga bantu bantu ngajar TPA di yayasan yang dibina Uti. Setiap kali murid murid nyebut “Bu Ima” keluarga pun bingung maksudnya Bu Ima kecil atau Bu Ima besar🤣🤣🤣. Kan ga ketje banget cara bedain-nya. Haha. Akhirnya isenglah ponakan satu ini sewaktu ngisi daftar kunjung perpustakaan yayasan. Disitu kutulis nama Marsa Ima. Awal awal keluarga pada bingung ini nama punya siapa. Akhirnya ketauanlah bahwasanya itu adalah namaku🙊. Jadi sekarang lebih ketje kan bedainnya. Haha.

 

Doa Dari Mereka

Aku selalu meyakini bahwasanya ada doa dari setiap ucapan para leluhur. Dan kita tidak akan pernah tau dari mulut siapa doa akan terkabul. Setiap kali silaturahim selalu terselip doa, baik doa yg terucap ataupun tidak sempat terucap. Support dari mereka adalah doa yang terangkai amat indah.

 

 

0 komentar:

Posting Komentar